Selasa, 21 Desember 2010

Sejarah Kerajaan Kutai Kartanegara

Ditinjau dari sejarah Indonesia kuno, Kerajaan Kutai merupakan kerajaan tertua di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya 7 buah prasasti yang ditulis diatas yupa (tugu batu) yang ditulis dalam bahasa Sansekerta dengan menggunakan huruf Pallawa. Berdasarkan paleografinya, tulisan tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-5 Masehi.
Dari prasasti tersebut dapat diketahui adanya sebuah kerajaan dibawah kepemimpinan Sang Raja Mulawarman, putera dari Raja Aswawarman, cucu dari Maharaja Kudungga. Kerajaan yang diperintah oleh Mulawarman ini bernama Kerajaan Kutai Martadipura, dan berlokasi di seberang kota Muara Kaman.
Pada awal abad ke-13, berdirilah sebuah kerajaan baru di Tepian Batu atau Kutai Lama yang bernama Kerajaan Kutai Kartanegaradengan rajanya yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325).  
Dengan adanya dua kerajaan di kawasan Sungai Mahakam ini tentunya menimbulkan friksi diantara keduanya. Pada abad ke-16 terjadilah peperangan diantara kedua kerajaan Kutai ini. Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah rajanya Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa akhirnya berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura. Raja kemudian menamakan kerajaannya menjadiKerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Pada abad ke-17 agama Islam diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara. Selanjutnya banyak nama-nama Islami yang akhirnya digunakan pada nama-nama raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Sebutan raja pun diganti dengan sebutan Sultan. Sultan yang pertama kali menggunakan nama Islam adalah Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778).
Tahun 1732, ibukota Kerajaan Kutai Kartanegara pindah dari Kutai Lama ke Pemarangan.
Sultan Aji Muhammad Idris yang merupakan menantu dari Sultan Wajo Lamaddukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut bertempur melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian.
Pada tahun 1739, Sultan A.M. Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu masih kecil kemudian dilarikan ke Wajo. Aji Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin. 
Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang (Samarinda Seberang). Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.
Perlawanan berlangsung dengan siasat embargo yang ketat oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi.
Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.


Aji Imbut gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini.
Pada tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.
Pada tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan James Erskine Murray asal Inggris memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk berdagang dan meminta tanah untuk mendirikan pos dagang serta hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Namun Sultan A.M. Salehuddin mengizinkan Murray untuk berdagang hanya di wilayah Samarinda saja. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini. Setelah beberapa hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan meriam kearah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray akhirnya kalah dan melarikan diri menuju laut lepas. Lima orang terluka dan tiga orang tewas dari pihak armada Murray, dan Murray sendiri termasuk diantara yang tewas tersebut.

Insiden pertempuran di Tenggarong ini sampai ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris hendak melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bagian dari wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya sendiri. Kemudian Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando t'Hooft dengan membawa persenjataan yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t'Hooft menyerang istana Sultan Kutai. Sultan A.M. Salehuddin diungsikan ke Kota Bangun. Panglima perang kerajaan Kutai, Awang Long gelar Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan gagah berani bertempur melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai Kartanegara. Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara akhirnya kalah dan takluk pada Belanda.
Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani perjanjian dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang berkedudukan di Banjarmasin.
Tahun 1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan. 
Pada tahun 1850, Sultan A.M. Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura.
Pada tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda menempatkan J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu kekuatan politik dan ekonomi masih berada dalam genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899).
Pada tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda.
Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi ekspoitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga membuat Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal di masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya alam di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman.
Tahun 1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.




Pada tahun 1907, misi Katholik pertama didirikan di Laham. Setahun kemudian, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada Sultan Kutai Kartanegara.
Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu putera mahkota Aji Kaget masih belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.

Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit.
Sejak awal abad ke-20, ekonomi Kutai berkembang dengan sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Di tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melalui surplus yang dihasilkan tiap tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - jumlah yang sangat fantastis untuk masa itu.
Tahun 1936, Sultan A.M. Parikesit mendirikan istana baru yang megah dan kokoh yang terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut selesai dibangun.
Ketika Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.
Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kemudian, Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja masuk kedalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kemudian pada 27 Desember 1949 masuk dalam Republik Indonesia Serikat.
Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang merupakan daerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.
Pada tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:
1. Daerah Tingkat II Kutai  dengan ibukota Tenggarong

2. Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan
3. Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda
Pada tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra tersebut, yakni:
1. A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
2. Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
3. A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan
Sehari kemudian, pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong diadakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berakhir, dan beliau pun hidup menjadi rakyat biasa.

Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara Drs. H. Syaukani HR, MM berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud untuk menghidupkan feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu, dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk mendukung sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat wisatawan nusantara maupun mancanegara.
Pada tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara bersama Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud diatas. Presiden Wahid menyetujui dan merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai yakni putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.
Pada tanggal 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II. Penabalan H.A.P. Praboe sebagai Sultan Kutai Kartanegara baru dilaksanakan pada tanggal 22 September 2001.©news kutai

Sabtu, 30 Oktober 2010

legenda naga erau dan putri karang melenu

Legenda Naga Erau dan Putri Karang Melenu

Post
Pada zaman dahulu kala di kampung Melanti, Hulu Dusun, berdiamlah sepasang suami istri yakni Petinggi Hulu Dusun dan istrinya yang bernama Babu Jaruma. Usia mereka sudah cukup lanjut dan mereka belum juga mendapatkan keturunan. Mereka selalu memohon kepada Dewata agar dikaruniai seorang anak sebagai penerus keturunannya.

Suatu hari, keadaan alam menjadi sangat buruk. Hujan turun dengan sangat lebat selama tujuh hari tujuh malam. Petir menyambar silih berganti diiringi gemuruh guntur dan tiupan angin yang cukup kencang. Tak seorang pun penduduk Hulu Dusun yang berani keluar rumah, termasuk Petinggi Hulu Dusun dan istrinya.

Pada hari yang ketujuh, persediaan kayu bakar untuk keperluan memasak keluarga ini sudah habis. Untuk keluar rumah mereka tak berani karena cuaca yang sangat buruk. Akhirnya Petinggi memutuskan untuk mengambil salah satu kasau atap rumahnya untuk dijadikan kayu bakar.

Ketika Petinggi Hulu Dusun membelah kayu kasau, alangkah terkejutnya ia ketika melihat seekor ulat kecil sedang melingkar dan memandang kearahnya dengan matanya yang halus, seakan-akan minta dikasihani dan dipelihara. Pada saat ulat itu diambil Petinggi, keajaiban alam pun terjadi. Hujan yang tadinya lebat disertai guntur dan petir selama tujuh hari tujuh malam, seketika itu juga menjadi reda. Hari kembali cerah seperti sedia kala, dan sang surya pun telah menampakkan dirinya dibalik iringan awan putih. Seluruh penduduk Hulu Dusun bersyukur dan gembira atas perubahan cuaca ini.

Ulat kecil tadi dipelihara dengan baik oleh keluarga Petinggi Hulu Dusun. Babu Jaruma sangat rajin merawat dan memberikan makanan berupa daun-daun segar kepada ulat itu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, ulat itu membesar dengan cepat dan ternyata ia adalah seekor naga.

Suatu malam, Petinggi Hulu Dusun bermimpi bertemu seorang putri yang cantik jelita yang merupakan penjelmaan dari naga tersebut.
"Ayah dan bunda tak usah takut dengan ananda." kata sang putri, "Meskipun ananda sudah besar dan menakutkan orang di desa ini, izinkanlah ananda untuk pergi. Dan buatkanlah sebuah tangga agar dapat meluncur ke bawah."

Pagi harinya, Petinggi Hulu Dusun menceritakan mimpinya kepada sang istri. Mereka berdua lalu membuatkan sebuah tangga yang terbuat dari bambu. Ketika naga itu bergerak hendak turun, ia berkata dan suaranya persis seperti suara putri yang didengar dalam mimpi Petinggi semalam.
"Bilamana ananda telah turun ke tanah, maka hendaknya ayah dan bunda mengikuti kemana saja ananda merayap. Disamping itu ananda minta agar ayahanda membakar wijen hitam serta taburi tubuh ananda dengan beras kuning. Jika ananda merayap sampai ke sungai dan telah masuk kedalam air, maka iringilah buih yang muncul di permukaan sungai."

Sang naga pun merayap menuruni tangga itu sampai ke tanah dan selanjutnya menuju ke sungai dengan diiringi oleh Petinggi dan isterinya. Setelah sampai di sungai, berenanglah sang naga berturut-turut 7 kali ke hulu dan 7 kali ke hilir dan kemudian berenang ke Tepian Batu. Di Tepian Batu, sang naga berenang ke kiri 3 kali dan ke kanan 3 kali dan akhirnya ia menyelam.

Di saat sang naga menyelam, timbullah angin topan yang dahsyat, air bergelombang, hujan, guntur dan petir bersahut-sahutan. Perahu yang ditumpangi petinggi pun didayung ke tepian. Kemudian seketika keadaan menjadi tenang kembali, matahari muncul kembali dengan disertai hujan rintik-rintik. Petinggi dan isterinya menjadi heran. Mereka mengamati permukaan sungai Mahakam, mencari-cari dimana sang naga berada.

Tiba-tiba mereka melihat permukaan sungai Mahakam dipenuhi dengan buih. Pelangi menumpukkan warna-warninya ke tempat buih yang meninggi di permukaan air tersebut. Babu Jaruma melihat seperti ada kumala yang bercahaya berkilau-kilauan. Mereka pun mendekati gelembung buih yang bercahaya tadi, dan alangkah terkejutnya mereka ketika melihat di gelembung buih itu terdapat seorang bayi perempuan sedang terbaring didalam sebuah gong. Gong itu kemudian meninggi dan tampaklah naga yang menghilang tadi sedang menjunjung gong tersebut. Semakin gong dan naga tadi meninggi naik ke atas permukaan air, nampaklah oleh mereka binatang aneh sedang menjunjung sang naga dan gong tersebut. Petinggi dan istrinya ketakutan melihat kemunculan binatang aneh yang tak lain adalah Lembu Swana, dengan segera petinggi mendayung perahunya ke tepian batu.

Tak lama kemudian, perlahan-lahan Lembu Swana dan sang naga tenggelam ke dalam sungai, hingga akhirnya yang tertinggal hanyalah gong yang berisi bayi dari khayangan itu. Gong dan bayi itu segera diambil oleh Babu Jaruma dan dibawanya pulang. Petinggi dan istrinya sangat bahagia mendapat karunia berupa seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Bayi itu lalu dipelihara mereka, dan sesuai dengan mimpi yang ditujukan kepada mereka maka bayi itu diberi nama Puteri Karang Melenu. Bayi perempuan inilah kelak akan menjadi istri raja Kutai Kartanegara yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti.

Demikianlah mitologi Kutai mengenai asal mula Naga Erau yang menghantarkan Putri Junjung Buih atau Putri Karang Melenu, ibu suri dari raja-raja Kutai Kartanegara.

Kamis, 28 Oktober 2010

asal mula adat erau


Tenggarong adalah ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Indonesia. Pada mulanya, kota Tenggarong merupakan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara bernama Tepian Pandan. Namun, oleh Sultan Kutai, Aji Muhammad Muslihuddin (Aji Imbut), nama Tepian Pandan diubah menjadi Tangga Arung yang berarti rumah raja. Kemudian dalam perkembangannya, Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong sampai saat ini. Di daerah ini telah berkembang sebuah cerita legenda yang sangat populer yaitu Asal-Mula Erau. Cerita legenda ini mengambil latar belakang cerita di masa Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura (abad ke-13 M.) yang berdiri di Tepian Batu atau Kutai Lama. Cerita legenda ini terpusat pada kisah seorang laki-laki bernama Aji Batara Agung Dewa Sakti, seorang dari keturunan Dewa yang memiliki wajah sangat tampan, sehat dan cerdas. Ia tumbuh dan berkembang di lingkungan suku-bangsa Tenggarong Kutai. Sebagai keturunan Dewa, ia tidak boleh diperlakukan seperti halnya seorang anak manusia biasa. Oleh karena itu, sejak kecil ia dirawat dan dibesarkan dengan baik dan hati-hati oleh keluarga Petinggi Dusun Jaitan Layar. Pada waktu-waktu tertentu, keluarga Petinggi Dusun Jaitan Layar harus mengadakan upacara adat untuk Aji Batara Dewa Sakti yang dikenal dengan Erau.
Alkisah, di lereng sebuah gunung di daerah Kalimantan Timur terdapat sebuah dusun bernama Jaitan Layar. Di dusun itu tinggal seorang Petinggi bersama istrinya. Meski sudah menikah puluhan tahun, mereka belum dikaruniai seorang anak pun. Namun demikian, suami-istri itu tak pernah putus asa. Mereka senantiasa pergi bertapa, menjauhi kerabat dan rakyatnya untuk memohon pada Dewata agar diberi keturunan. Pada suatu malam, ketika mereka sedang tertidur nyenyak, tiba-tiba dikejutkan oleh suara gemuruh di halaman rumahnya. Malam yang semula gelap gulita tiba-tiba berubah menjadi terang benderang, kejadian itu membuat mereka sangat heran. “Pak, coba lihat apa yang terjadi di luar,” kata sang istri.
Dengan memberanikan diri Petinggi Dusun Jaitan Layar keluar dari rumahnya. Ia sangat terkejut melihat sebuah batu raga mas berada di halaman rumahnya. Di dalamnya terbaring seorang bayi laki-laki yang masih merah berselimutkan kain berwarna emas. Tangan kanan bayi itu menggenggam sebutir telur ayam dan tangan kirinya memegang sebilah keris emas.
Petinggi Dusun itu semakin terkejut ketika tiba-tiba di hadapannya berdiri tujuh dewa. Satu dari tujuh dewa itu berkata, “Berterima kasihlah kamu, karena doamu telah dikabulkan oleh para Dewa.”
Kemudian Dewa itu berpesan kepada Petinggi Jaitan Layar, ”Ketahuilah bayi ini keturunan para Dewa di Kahyangan. Oleh karena itu kamu tidak boleh menyia-nyiakannya. Cara merawatnya berbeda dengan merawat anak manusia. Bayi ini tidak boleh diletakkan sembarangan di atas tikar, akan tetapi selama empat puluh hari empat puluh malam harus dipangku secara bergantian oleh kaum kerabat sang Petinggi. Jika kamu ingin memandikan bayi ini, jangan menggunakan air biasa, tetapi harus dengan air yang diberi bunga-bungaan.”
Dewa itu juga berpesan kepada sang Petinggi, “Jika bayi ini sudah besar tidak boleh menginjak tanah sebelum diadakan Erau. Pada upacara Tijak Tanah (Menginjak Tanah), kaki anak ini harus diinjakkan pada kepala manusia yang masih hidup dan kepala manusia yang sudah mati. Selain itu, kaki anak ini juga harus diinjakkan pada kepala kerbau yang masih hidup dan kepala kerbau yang sudah mati. Begitu pula jika anakmu hendak mandi di sungai untuk pertama kali, hendaknya kau harus mengadakan Erau Mandi ke Tepian sebagaimana pada upacara Tijak Tanah.”
Bukan main senangnya Petinggi Jaitan Layar mendapatkan anak keturunan para Dewa. “Terima kasih Dewa. Semua perintah Dewa akan hamba laksanakan,” kata sang Petinggi sambil menyembah.
Saat itu pula, tiba-tiba ketujuh Dewa tersebut menghilang dari hadapan sang Petinggi. Bayi itu pun segera dibawa oleh sang Petinggi masuk ke dalam rumah. Lalu, sang Petinggi menceritakan kejadian yang baru saja ia alami kepada istrinya. Bukan main senangnya istri sang Petinggi mendengar cerita suaminya, apalagi setelah ia melihat bayi itu. Ia bagaikan bulan purnama, wajahnya tampan tiada banding, tubuhnya sehat dan segar, siapa pun memandangnya akan bangkit kasih sayang terhadapnya.
Beberapa saat kemudian bayi itu tiba-tiba menangis. Sepertinya bayi itu sedang kelaparan. Sang Petinggi pun menjadi bingung, karena payudara istrinya tidak dapat mengeluarkan air susu. Apa lagi yang bisa diharapkan dari seorang perempuan tua seperti istrinya untuk menyusui seorang anak. Akhirnya, sang Petinggi membakar dupa dan setanggi. Lalu, sambil menghambur beras kuning, ia memanjatkan doa kepada para Dewa agar memberikan karunia kepada istrinya berupa air susu yang harum baunya. Tak lama setelah berdoa, terdengarlah suara dari Kahyangan, “Hai Nyai Jaitan Layar, usap-usaplah payudaramu dengan tangan berulang-ulang sampai terpancar air susu darinya”.
Mendengar perintah itu, istri Petinggi Jaitan Layar segera mengusap-usap payudaranya sebelah kanan sebanyak tiga kali. Tiba-tiba, mencuratlah dengan derasnya air susu dari payudaranya yang sangat harum baunya seperti bau ambar dan kasturi. Bayi itupun mulai menyusu pada istri Petinggi. Kedua suami-istri itu sangat bahagia melihat bayi keturunan Dewa itu telah mendapatkan air susu.
Setiap hari, sang Petinggi dan istrinya merawat anak mereka dengan baik. Sesuai perintah Dewa, mereka senantiasa memandikan bayi itu dengan air yang diberi bunga-bungaan. Tiga hari tiga malam kemudian, putuslah tali pusar bayi itu. Seluruh penduduk dusun Jaitan Layar bergembira. Mereka merayakannya dengan menembakkan Meriam Sapu Jagat sebanyak tujuh kali. Empat puluh hari empat puluh malam bayi itu dipangku penduduk secara bergantian dan berhati-hati. Sesuai petunjuk Dewa dalam mimpi Petinggi, bayi laki-laki itu diberi nama Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Waktu terus berlalu. Kini Aji Batara Agung Dewa Sakti telah berumur lima tahun. Anak seusia Aji tentu sangat ingin bermain di luar rumah bersama teman-teman sebayanya. Ia juga ingin mandi di sungai seperti anak-anak lain. Ia sudah sangat bosan dan jenuh dikurung di dalam rumah.
Sang Petinggi teringat dengan pesan Dewa ketika menerima anak itu. Maka ia dan istrinya bersama seluruh penduduk Dusun Jaitan Layar mempersiapkan Erau. Dalam pesta Erau itu digelar upacara Tijak Tanah dan Mandi ke Tepian. Upacara Erau berlangsung sangat meriah selama empat puluh hari empat puluh malam. Sesuai petunjuk Dewa, Petinggi menyembeli bermacam-macam binatang dan beberapa orang untuk diinjak kepalanya oleh Aji Batara Agung pada upacara Tijak Tanah. Dalam upacara Tijak Tanah dan Mandi ke Tepian, Aji Batara Agung diarak dan kemudian kakinya dipijakkan pada kepala-kepala binatang dan manusia yang telah diselimuti kain kuning. Kemudian Aji Batara Agung diselimuti dengan kain kuning, lalu diarak ke tepian sungai. Di tepi sungai, Aji Batara Agung dimandikan, kakinya dipijakkan pada besi dan batu. Semua penduduk Jaitan Layar kemudian turut mandi, baik wanita maupun pria, baik orang tua maupun orang muda. Setelah selesai upacara mandi, maka khalayak mengarak kembali Aji Batara Agung ke rumah orang tuanya, lalu memberinya pakaian kebesaran. Setelah itu mereka mengarak kembali Aji Batara Agung ke halaman dengan dilindungi payung agung, diiringi dengan lagu gamelan Gajah Perwata dan bunyi meriam Sapu Jagat.
Sesaat kemudian, tiba-tiba dentuman suara guntur yang sangat dahsyat menggoncang bumi disertai dengan hujan panas turun merintik. Kejadian itu tidak berlangsung lama. Cahaya cerah kembali menerangi alam, awan di langit bergulung-gulung seakan-akan memayungi penduduk yang sedang mengadakan upacara di bumi. Penduduk Jaitan Layar kemudian menghamparkan permadani dan kasur agung, lalu membaringkan Aji Batara Agung di atasnya. Gigi Aji Batara Agung pun diasah kemudian diberi makan sirih.
Selesai upacara tersebut, pesta Erau pun dimulai. Berbagai makanan dan minuman disediakan untuk penduduk. Bermacam-macam permainan dipertunjukkan. Laki-laki dan perempuan menari silih berganti. Juga tidak ketinggalan diadakan adu binatang. Keramaian ini berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dengan tidak putus-putusnya. Setelah pesta Erau selesai, semua bekas balai-balai yang digunakan dalam pesta ini dibagi-bagikan oleh Petinggi kepada penduduk yang melarat. Demikian pula, semua hiasan-hiasan rumah oleh istri Petinggi diberikan kepada penduduk.
Para undangan dari berbagai negeri dan dusun, berpamitan kepada Petinggi dan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Mereka memuji-muji Aji Batara Agung dengan berkata, “Tiada siapa pun yang dapat menyamainya, baik rupanya yang tampan maupun sikapnya yang berwibawa. Patutlah dia anak dari batara Dewa-Dewa di khayangan.” Setelah berpamitan, para undangan kembali ke negeri dan dusunnya masing-masing untuk mencari nafkah sehari-sehari.
Sementara itu, Aji Batara Agung Dewa Sakti makin hari makin dewasa. Ia tumbuh menjadi remaja yang gagah, tampan, cerdas dan berwibawa. Ia kelak akan menjadi Raja pertama dari kerajaan Kutai Kartanegara. Setelah mencapai usia dewasa, tibalah saatnya Aji Batara Agung Dewa Sakti diangkat menjadi raja Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura yang pertama (1300-1325). Saat ia diangkat menjadi raja, Erau kembali diadakan dengan meriah. Sebagai raja pertama, maka Aji Batara Agung Dewa Sakti dianggap sebagai nenek moyang raja-raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura.
Setelah menjadi raja, Aji Batara Agun Dewa Sakti menikah dengan seorang putri yang cantik jelita bernama Putri Karang Melenu. Konon ceritanya, Putri Karang Melenu juga merupakan titisan Dewa dari Kahyangan. Awalnya, ia adalah ulat kecil yang ditemukan oleh seorang Petinggi Hulu Dusun di daerah kampung Melanti dekat Aliran Sungai Mahakam. Pada suatu hari, ketika Petinggi Hulu Dusun sedang membelah kayu bakar, tiba-tiba ia dikejutkan oleh seekor ulat kecil. Ulat kecil itu melingkar di belahan kayu dan memandangnya dengan mata yang sayu, seakan minta dikasihani. Dengan lembut sang Petinggi mengambil ulat itu untuk dipelihara.
Waktu terus berlalu. Ulat kecil itu tumbuh semakin besar. Lama-kelamaan binatang itu berubah menjadi seekor naga yang besar. Meskipun besar dan menyeramkan, naga itu jinak dan tak pernah keluar dari rumah. Pada suatu malam Petinggi bermimpi bertemu seorang putri yang cantik jelita. Dalam mimpinya, sang Putri berkata, “Ayah dan Bunda tidak usah takut kepada ananda, meski tubuh ananda besar dan menakutkan. Izinkanlah ananda untuk pergi dari sini. Buatkanlah ananda sebuah tangga untuk merayap ke bawah”. Ketika terbangun, sang Petinggi menceritakan mimpinya kepada Istrinya, Babu Jaruma. Keesokan harinya, sang Petinggi pun sibuk membuat tangga dari kayu lampong. Anak tangganya terbuat dari bambu yang diikat dengan akar lembiding. Selesai membuat tangga, tiba-tiba Petinggi mendengar suara sang Putri yang menemuinya dalam mimpi. “Bila ananda telah turun ke tanah, ananda minta Ayahanda dan Bunda mengikuti ananda ke mana saja ananda merayap. Ananda juga minta agar Ayahanda membakar wijen hitam serta menaburi ananda dengan beras kuning. Jika ananda merayap sampai ke sungai dan menyelam, ananda mohon Ayahanda dan Bunda mengiringi buihku.” Sang Naga pun kemudian menuruni tangga, lalu merayap meninggalkan rumah. Sang Petinggi dan istrinya mengikuti naga itu sesuai dengan petunjuk sang Putri.
Ketika sang Naga sampai di sungai, ia berenang tujuh kali berturut-turut ke hulu dan tujuh kali ke hilir. Kemudian dia berenang ke Tepian Batu. Petinggi dan istrinya mengikuti sang Naga dengan perahu. Di Tepian Batu, sang Naga berenang ke kiri tiga kali dan ke kanan tiga kali kemudian menyelam. Pada saat menyelam, tiba-tiba terjadilah peristiwa yang sangat dahsyat. Air sungai pun bergolak. Angin topan bertiup dengan kencang. Hujan deras turun disertai guntur dan petir bersahut-sahutan. Perahu yang ditumpangi Petinggi dan istrinya terombang-ambing oleh gelombang air sungai. Dengan susah payah Petinggi berusaha mengayuh perahunya ke tepi.
Tak lama peristiwa itu berlangsung, tiba-tiba cuaca kembali terang. Petinggi dan istrinya heran. Ke mana perginya sang Naga? Tiba-tiba mereka melihat suatu pemandangan yang menakjubkan. Air Sungai Mahakam dipenuhi dengan buih. Warna-warni sinar pelangi menerpa buih hingga bercahaya kemilau. Petinggi dan istrinya mendekat. Mereka terkejut karena ditumpukan buih itu terdapat sebuah gong besar dan di dalamnya ada sebuah benda. Entahlah, benda apa itu? Petinggi dan istrinya semakin penasaran. Petinggi bergegas mengayuh perahunya ke arah benda itu. “Lihat Pak! Sepertinya benda itu seorang bayi,” seru istri Petinggi sambil menunjuk ke arah gong itu. Ternyata benar, benda di dalam gong itu adalah seorang bayi perempuan. Kemudian mereka pun mengambil gong berisi bayi itu dan membawanya pulang.
Sang Petinggi dan istrinya merawat bayi itu dengan baik seperti anak kandungnya sendiri. Mereka sangat senang sekali mendapatkan anak dari Kahyangan. Setelah genap tiga hari, putuslah tali pusar bayi itu. Sesuai perintah Dewa di dalam mimpi Petinggi, bayi perempuan itu diberi nama Putri Karang Melenu.
Waktu terus berjalan, Putri Karang Melanu tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita, baik budi, dan pintar. Setelah dewasa, Dewata pun mempertemukannya dengan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Keduanya lalu menikah. Sang Putri pun menjadi permaisuri Raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura I dan melahirkan seorang putra bernama Aji Batara Agung Paduka Nira.
Demikianlah kisah perjalanan hidup Raja Aji Batara Agung Dewa Sakti dengan permaisurinya Putri Karang Melanu mulai kecil hingga akhirnya mereka menikah. Sejak Aji Batara Agung Dewa Sakti menjadi Raja Kutai Kartanegara, Erau diadakan pada setiap pergantian atau penobatan raja-raja Kutai Kartanegara. Untuk mengenang kembali peristiwa kehadiran Putri Karang Melanu, diadakan pula upacara Mengulur Naga. Upacara ini merupakan puncak acara pada Erau yang hampir setiap tahunnya diselenggarakan oleh masyarakat Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Selain Mengulur Naga, masyarakat Kutai Kartanegara mengenang Putri Karang Melanu dengan membangun sebuah gedung pertunjukkan pada tahun 2003 yang diberi nama Putri Karang Melanu.
Pada masa kerajaan Kutai Kartanegara, Erau diselenggarakan oleh kerabat istana dengan mengundang pemuka masyarakat yang setia kepada raja. Waktu penyelenggaraan Festival Erau tergantung pada kemampuan kerajaan, minimal tujuh hari delapan malam dan maksimal empat puluh hari empat puluh malam. Namun, sejak masa kerajaan Kutai Kartanegara berakhir tahun 1960, pelaksanaan Erau sempat mandek selama beberapa tahun. Baru pada tahun 1971, Erau (yang kemudian populer dengan sebutan Festival Erau) ini kembali dilaksanakan atas prakarsa Bupati Kutai, Achmad Dahlan, dengan merangkaikan perayaan hari jadi Kota Tenggarong. Sejak itulah, Festival Erau menjadi agenda rutin pemerintah Kutai Kartanegara dalam rangka memperingati hari jadi Kota Tenggarong. Oleh karena itu, setiap perayaan hari jadi Kota Tenggarong selalu dirangkaikan dengan Festival Erau dan berbagai festival lainnya. Pada tanggal 28 September 2003, perayaan hari jadi Kota Tenggarong ke-221 dirangkaian dengan penyelenggaraan Festival Erau dan Zapin International Festival.
Dalam Festival Erau, berbagai macam seni dan olahraga tradisional yang mereka tampilkan, di antaranya Menjamu Benua, Merangin Malam, Mendirikan Tiang Ayu, Upacara Penabalan, Pelas (Pagelaran Kesenian Keraton Kutai Kartanegara), Seluak Mudik, Mengulur Naga, dan diakhiri dengan Belibur. Selain itu, dalam festival itu juga ditampilkan berbagai kesenian Dayak seperti Papaer Maper, Kuangkay, Mumutn, Ngayau, Lemakan Balei, Uman Undad, Pasek Truit, Erau Anak (Penhos). Tak ketinggalan pula keseniaan daerah pesisir (kesenian Melayu) seperti Tarsul dan Badendang. Untuk lebih meramaikan Festival Erau, biasanya diadakan penyalaan kembang api raksasa di Pulau Kumala pada malam hari. Ratusan ribu orang menyaksikan indahnya warna-warni menghiasi langit dari tepian Sungai Mahakam.
Saat ini, penyelenggaraan Festival Erau oleh masyarakat Tenggarong tidak sekedar untuk melestarikan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, akan tetapi juga untuk memperkenalkan potensi wisata Kutai Kartanegara. Sebagaimana yang diungkapkan oleh mantan Bupati Kutai Kartanegera, Syaukani, Festival Erau merupakan wujud rasa syukur masyarakat Kutai Kartanegara dan pemerintah daerah dalam melakukan kegiatan pembangunan. Pelaksanaan Erau diharapkan dapat menjadi upaya positif untuk menjual dan memperkenalkan potensi wisata Kutai Kartanegara. Festival Erau selalu dinanti-nanti oleh masyarakat Kutai Kartanegara setiap tahun, karena memang sudah masuk dalam kalender wisata nasional. Festival Erau ini merupakan sebuah peristiwa yang telah menjadi kebanggaan masyarakat Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Indonesia.

NB : Erau berasal bahasa Kutai eroh yang artinya ramai, riuh, ribut, suasana yang penuh sukacita. Dalam pengertian yang paling sederhana, erau atau eroh adalah pesta yang diselenggerakan oleh sekelompok orang dengan berbagai kegiatan yang mempunyai maksud dan mengandung makna, baik bersifat sakral, ritual maupun hiburan.

panorama kutai kartanegara

Kutai Karta Negara, Potensi Wisata Adat

Bila kita melancong ke Balikpapan, Kalimantan Timur, jangan lupa mampir ke Kutai Kartanegara. Selain terkenal dengan jembatan seperti  “Golden Bridge” layaknya jembatan di San Fransisco bila di malam hari, Kutai Kartanegara pun memiliki situs atau peninggalan kerajaan Islam tertua di Indonesia, yakni Kerajaan Kutai.

Belum lama ini, pada 22 Juli – 3 Agustus lalu, berlangsung Pesta Adat Erau Tempong Tawar, yaitu acara tradisi tiap tahun yang selalu digelar sejak abad 13.   Di bawah terik matahari, ratusan warga sabar menyaksikan Tajuddin melakukan beluluh atau tradisi penyucian bagi dua junjungan Kutai ini. Di  beluluh, Sultan dan Putra Mahkota, bergantian duduk di atas semacam tahta (Balai) dari 41 buah bambu kuning dengan dua ornamen berbentuk naga tengah bermain di kolam berbuih di bawah Balai. Beluluh bagi Raja, awal dari semuanya yang berarti pula keselamatan bagi warga. Sukacita pun menggema dalam pesta rakyat Kutai yang disebut Erau itu.
Tajuddin Nur, Sang Peluluh Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura XX, melontarkan doa bagi Raja Kesultanan Kutai, Aji M Salehuddin II beserta Putra Mahkota Aji Pangeran Adipati Prabu Anum Surya Adiningrat.
Sebagai kerajaan tertua di Indonesia, Kutai melestarikan tradisi ini tiap tahunya. Kisah Beluluh berlatar kemunculan bayi perempuan di Sungai Mahakam di Tanjung Batu Kutai Lama, lokasi pertama Kerajaan Kutai ada. Ia lantas dinamai Putri Karang Melenu. Pada perkembangannya, penemuan bayi menjadi ritual bagi kelahiran kembali atau penyucian diri.

 "Acara beluluh ini bermakna pembersihan diri. Seperti bayi yang baru lahir. Karena itu, Sultan dan Putra Mahkota dibersihkan diri,”  urai  Koordinator Sakral Kesultanan Kutai, Awang Imaluddin yang bergelar Awang Demang Nata Krama.
Dalam acara pesta adat itu,  kita dengan menumpang kendaraan roda dua  tidak lebih   lima menit dari Kedaton, tepatnya di Lapangan Parkir Stadion Rondong Demang Tenggarong juga digelar 13 olahraga tradisional yang mengasyikan untuk ditonton, seperti Begasing atau lomba adu gasing. Kemudian balap Enggrang. Pertandingan unik lain seperti Belogo, Dagongan, Menyumpit, Asen Naga, Kelom Panjang, dan Kasti. Bahkan mengupas kelapa, menangkap bebek, dan menjala, pun dipertandingkan.
Satu lagi olahraga tradisi Erau adalah Behempas Rotan atau olahraga saling memukul menggunakan Rotan. Tradisi tempo dulu yang masih dipelihara. "Kami ingin warga melestarikan permainan agar tidak hilang terkikis zaman," ujar H. Ifni Djuraidi,  Kepala Dispora Kutai Kartanegara.
Menyusuri sudut kota yang lain, tepatnya di tepi Sungai Mahakam, mudah ditemui berbagai lomba di sungai. Ada lomba memancing, sementara di tengah sungai ada yang turun di nomor lomba balap perahu naga, adu balap ketinting atau perahu cepat bermesin PS 6 sampai 10 PK.
“Kami ahlinya dalam racing ces (balap ketinting). Kami datang dengan motoris ahli sungai seperti ini, ada pekerjaannya nelayan, pedagang, atau sehari-hari memang pengemudi ketinting. Kami ada dimana pun lomba ketinting,”  tandas Ahmad Yan Syarif, seorang warga Kecamatan Muara Muntai, Kukar.

Wisata Kuliner

Komplitnya lagi, di Erau bukan melulu pesta rakyat biasa, melainkan juga mengenang kehidupan dan adat istiadatnya.  Salah satunya mengenal lebih dekat tentang tradisi dan kehidupan perdangangan di atas air yang kini sudah sulit ditemui di perairan Kutai. Erau kali ini justru digelar jajanan khas Kutai atau Jajak yang dibagi gratis dari atas perahu atau gubang sejak tiap hari.
Kulier yang ada 20 jenis jajanan  yang disediakan. Lantaran gratis maka jajanan khas Kutai seperti cucur, pare, serabai, bingka, talam dan aneka kue lainnya itu ludes tak lebih satu jam setiap hari. “Ini mengingatkan kita bahwa masyarakat Kutai tempo dulu beraktivitas di atas sungai, salah satunya transaksi jual beli makanan. Kebetulan sekarang Erau, jadi kami gelar dan ini untuk pertama kalinya selama Erau berlangsung,” kata Idrus, Dinas Budaya & Pariwisata (Disbudpar) Kutai Kartanegara.
Begitu meriahnya kegiatan di Pesta Adat Erau Tempang Tawar dengan waktu seminggu ini,  tak heran pesta adat ini akhirnya menjadi agenda nasional dalam Visit Indonesia Year yang sejajar dengan festival budaya daerah lain.

"Erau kini telah ditetapkan menjadi agenda nasional demi mendukung program tahun kunjungan Kaltim (Visit East Borneo 2009)," tukas Sjachruddin, Penjabat Bupati Kukar Sjachruddin.
Wajar saja, Erau kini diyakini mampu menjadi daya pikat wisata Indonesia lantaran berdasar data Kaltim menempati peringkat empat dalam pertumbuhan wisatawan mancanegara. “Peningkatan wisman sebesar 39,2 persen di 2008 dibandingkan 2007, merupakan potensi pasar Erau,”  tutur Titin Sukarya,  Staf Ahli Menteri Budaya dan Pariwisata Bidang Ekonomi dan Iptek.
Belum lagi Kaltim yang didukung potensi kekayaan seni dan budaya yang sangat melimpah. "Saya tidak bosan menikmati kekayaan alam Kaltim. Tidak semua daerah dilengkapi sungai seperti Kaltim dan Kukar. Ini potensi yang sangat luar biasa," ucapnya lagi. (Dani zebua)

pesona pariwisata kutai kartanegara

K U T A I    K A R T A N E G A R A





T e n g g a r o n g


Museum Mulawarman
Museum Mulawarman
Bangunan ini merupakan bekas keraton Kesultanan Kutai Kartanegara yang dibangun pada tahun 1936. Didalam museum ini dapat dilihat beraneka macam koleksi benda-benda bersejarah peninggalan kerajaan Kutai Kartanegara, benda-benda budaya dari daerah Kutai, koleksi keramik kuno, koleksi uang kuno, dan masih banyak lagi. Museum Mulawarman terletak di Jalan Diponegoro dan dibuka setiap hari (kecuali Senin) mulai jam 08.00 hingga 16.00.
Museum Kayu
Museum Kayu terletak disekitar Waduk Panji Sukarame. Museum ini   menyajikan koleksi beraneka macam hasil hutan di Kalimantan Timur. Disamping itu juga terdapat 'monster' buaya ganas yang telah diawetkan yang penah memakan korban manusia di Sangatta, Kutai Timur.

Waduk Panji Sukarame
Waduk Panji Sukarame
Waduk Panji Sukarame adalah telaga alam yang terdapat di daerah Rondong Demang, Kecamatan Tenggarong. Telaga ini dibendung dan dijadikan waduk untuk pengairan sawah-sawah penduduk. Tempat ini cocok berekreasi di alam terbuka sambil menikmati keindahan alam disekitarnya.
Monumen Pancasila
Monumen Pancasila
Monumen ini dibangun sebagai lambang keberhasilan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai dalam melaksanakan pembangunan daerah yaitu dengan diterimanya penghargaan 'Parasamya Purnakarya Nugraha' dari Presiden RI. Monumen Pancasila terletak di pusat kota Tenggarong, tepat didepan Keraton Sultan Kutai dan Masjid Agung Sultan Sulaiman. Di sekeliling monumen terdapat relief yang menggambarkan sejarah perjalanan Kutai Kartanegara semenjak jaman kerajaan hingga di era pembangunan.
Lamin di Pondok Labu
Pondok Labu
Pondok Labu merupakan sebuah perkampungan suku Dayak Benuaq yang terletak sekitar 25 km dari kota Tenggarong. Di desa ni dapat dijumpai lamin (rumah adat) suku Dayak Benuaq yang dinding-dindingnya terbuat dari kulit kayu. Hampir setiap tahun di desa ini dilaksanakan upacara adat suku Dayak Benuaq seperti Ngugu Tahun. Untuk mencapai perkampungan Pondok Labu ditempuh dengan melalui jalan Tenggarong-Kota Bangun kemudian berbelok ke kanan menggunakan jalan yang dibuat oleh perusahaan batubara PT. Multi Harapan Utama. Angkutan umum menuju Pondok Labu beroperasi setiap hari di terminal angkutan desa Pasar Tangga Arung.
Pulau Kumala
Obyek Wisata Pulau Kumala, Tenggarong
Pulau Kumala merupakan sebuah pulau kecil yang terletak ditengah-tengah sungai Mahakam di wilayah kota Tenggarong. Pulau seluas 76 ha ini kini sedang digarap untuk dijadikan salah satu obyek wisata andalan kota Tenggarong. Fasilitas yang telah rampung dan dapat dinikmati para pengunjung adalah kereta api keliling pulau, Sky Tower dimana para pengunjung dapat menikmati panorama kota Tenggarong dari ketinggian 75 meter dan cable car atau kereta gantung yang menghubungkan Tenggarong Seberang dengan Pulau Kumala. Berbagai macam fasilitas yang akan dikembangkan adalah arena permainan anak dan keluarga, Aquarium Pesut Mahakam, Lamin atau rumah adat suku Dayak, cottage dan lain sebagainya. Selain menggunakan cable car, Pulau Kumala juga dapat dicapai dengan menggunakan perahu motor/ketinting yang tersedia di dermaga kota Tenggarong.

M u a r a    K a m a n


Lesong Batu
Desa Brubus
Daerah Muara Kaman merupakan bekas pusat pemerintahan Kerajaan Kutai Martadipura yang  terkenal dengan rajanya Mulawarman. Di Desa Brubus yang terletak sekitar 48 mil dari kota Tenggarong, masih dapat dijumpai sisa-sisa peninggalan kerajaan Hindu tertua di Indonesia tersebut seperti batu kepala babi, lesong batu, kubu-kubu kuno, dan lain-lain.
Photo:
Lesong batu yang masih dapat dijumpai para wisatawan di desa Brubus.

K o t a    B a n g u n


Danau Murung
Danau ini terletak di Desa Kota Bangun Ulu, Kecamatan Kota Bangun, sekitar 65 mil dari Tenggarong. Keindahan alam berupa pemandangan matahari terbit maupun matahari tenggelam dapat disaksikan di danau ini.
Danau Semayang
Danau Semayang
Danau Semayang terletak di Desa Pela, Kecamatan Kota Bangun, sekitar 65 mil dari Tenggarong. Di danau ini akan dapat ditemui kehidupan ikan Pesut (Orcela fluminalis), yakni sejenis lumba-lumba air tawar. Sambil menikmati keindahan alam danau ini, dapat pula kita saksikan kegiatan nelayan sedang menangkap ikan.

M u a r a    M u n t a i


Desa Jantur
Desa Jantur terletak sekitar 88 mil dari Tenggarong. Desa ini merupakan perkampungan nelayan yang mayoritas penduduknya adalah masyarakat suku Banjar. Keunikan dari perkampungan ini adalah adanya sebagian rumah-rumah yang dibangun diatas rakit dan terapung di sungai. Di desa ini dapat kita saksikan kehidupan sehari-hari masyarakat desa Jantur, seperti pembuatan ikan asin secara tradisional oleh ibu-ibu rumah tangga.

Danau Jempang
Photo: Rio Helmi
Danau Jempang
Danau Jempang merupakan danau terbesar di Kalimantan Timur (sekitar 15.000 HA). Jika berada di tengah-tengah danau pada musim penghujan, seakan-akan sedang berada ditengah lautan karena luasnya. Di danau ini dapat disaksikan kehidupan masyarakat di sekitar danau dengan perumahannya yang berderet-deret dan terapung di permukaan air.
Tanjung Isuy
Desa Tanjung Isuy mayoritas dihuni oleh masyarakat suku Dayak Benuaq. Di desa ini terdapat rumah adat Dayak 'Lamin' yang digunakan sebagai penginapan bagi para tamu/pendatang. Di desa ini dapat disaksikan upacara adat penyambutan tamu, upacara adat Belian, tari-tarian suku Dayak benuaq dan lain-lain.
Di Tanjung Isuy juga dapat ditemui kegiatan pembuatan Ulap Doyo, yakni kain tenunan dari serat doyo. Kain tenunan ini sangat digemari wisatawan karena motif dan bahannya yang alami.
Lamin Mancong
Lamin Mancong adalah sebuah lamin tua suku Dayak Benuaq. Bangunan tua yang telah dipugar oleh EHIF (Equatorial Heritage International Foundation) ini terletak di Desa Mancong, Kecamatan Jempang yang dapat dicapai melalui jalan darat atau dengan menggunakan perahu kecil menyusuri sungai Ohong yang berliku-liku dengan pemandangan alamnya yang menarik.

S a m b o j a



Wisata Alam Bukit Bangkirai
Bukit Bangkirai merupakan kawasan wisata alam dan petualangan yang terletak di Kecamatan Samboja, sekitar 58 km dari arah kota Balikpapan dan 150 km dari Samarinda/Tenggarong. Kawasan ini merupakan bagian dari kawasan hutan hujan tropis yang dilindungi. Dalam kawasan ini terdapat jembatan tajuk (canopy bridge) yang menjadi daya tarik para wisatawan nusantara maupun mancanegara. Kawasan ini juga menjadi salah satu tempat melakukan penelitian alam dan kehutanan yang telah dilengkapi dengan fasilitas lamin untuk pertemuan.